Tahun 1997 hidupku di perantauan dimulai. Jepang, negeri yang sangat terkenal sebagai negera Asia dengan tingkat ekonomi, teknologi, sosial budaya yang sudah modern. Di negeri ini aku memperdalam Bahasa Jepang sambil bekerja paruh waktu. Ini kulakukan untuk membiayai uang kuliah dan kehidupan sehari-hariku.
Tak terasa waktu sudah berlalu. Ketika berangkat usiaku masih 23 tahun, masih ranum bak bunga yang sedang mekar. Namun seperti tersihir dalam rutinitas kehidupan ’layaknya’ orang Jepang-yang workchoholic, tak terasa aku sudah menjadi wanita matang berusia 30 tahun. Tingkat pendidikanku pun ikut bertambah seiring pertambahan usia tadi. Pertambahanusia sebanyak 7 tahun itusemuanya kulalui di negeri Sakura.
Sayangnya hanya Mamaku yang menyatakan akan berangkat ke Jepang, sedangkan Papaku memilih tidak pergi karena alasan kesehatannya yang tidak memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh. Akhirnya berangkatlah Mamaku, sendirian!
*******
Dengan berbekal segala informasi perjalanan yang kutulis sedetil-detilnya dalam Bahasa Indonesia, Mama yang ’kedengarannya’ sangat tegar dan teguh, menyatakan siap berangkat.
Kutunggu Mama di Bandara Internasional Osaka-Jepang. Kubayangkan pertemuan yang indah dengannya. Wanita yang telah melahirkanku, membesarkanku, menerima keluh kesahku sejak bayi hingga remaja dengan ikhlas. Wanita yang tak lupa mengirimiku puluhan pucuk surat, menjadi tempat rinduku tertumpah sekian tahun. Dua ribu hari telah terlewati tanpa bisa menemui wajahnya setiap hari.
Menit demi menit kutunggu dengan gelisah. Jadwal kedatangan pesawatnya sudah lewat dari setengah jam, tapi sosok Mama tak muncul juga. Kegelisahanku memuncak ketika seeorang penumpang yang baru keluar dari pintu imigrasi menyapaku.
”Anaknya Ibu Dahniar?” Aku mengangguk.
”Sabar ya, Ibunya sebentar lagi keluar. Tapi dia sakit,” kata orang itu lagi.
Deg! Hatiku jadi tak menentu. Kakiku terasa tidak berpijak di bumi. Lunglai diriku ketika melihat Mama keluar dari pintu tempat para penunggu dengan menggunakan kereta dorong. Didorong oleh petugas bandara. Kudapati cerita dari seorang wanita-yang ternyata seorang dokter, dan teman Mama sebangku di pesawat, bahwa kesehatan Mama ’drop’ ketika pesawat mulai terbang di atas Pulau Kalimantan. Beberapa kali pesawat terkena ’turbulance’, dari sejak itulah Mama muntah dan tak bisa makan. Ternyata gula darah Mama drop, sehingga kepalanya pusing dan denyut nadinya cukup lemah. Untungnya ada dokter wanita itu yang merawat Mama sepanjang jalan.
*******
Kali kedua keberangkatan Mama ke Jepang yakni tahun 2008, adalah untuk membantuku menghadapi proses persalinan anak kedua. Setelah kepulanganku ke tanah air dulu, Allah ternyata menakdirkan diriku kembali ke Jepang. Aku berjodoh dengan pria Indonesia yang sedang menempuh pendidikan S-3 di kota salju, Sapporo.
Dari pernikahan kami ini telah lahir anak pertama. Tak sampai dua tahun memiliki putri sulung, aku kembali berbadan dua. Sejak menikah, aku berprofesi sebagai ’full-time house wife’. Aku mengemban amanah suami dalam mengurus rumah tangga dan anak sendirian, tanpa pembantu. Karena memekerjakan pembantu di Jepang adalah hal yang tidak mungkin dari segi ekonomi kami. Ketika rencana kelahiran anak kedua kami tinggal tiga bulan lagi, kami meminta bantuan Mama agar datang lagi ke Jepang. Ketika aku dan suami menghadapi proses persalinan, maka si sulung bisa diasuh oleh Neneknya.
Mama yang dulu pernah datang ke Jepang dengan segala traumanya, justru sangat optimis! Kali ini rute yang akan dilewati Mama jauh berbeda dengan rute sebelumnya. Kalau dulu Mama berangkat dari Jakarta langsung menuju Osaka, hanya transit di Bali. Kali ini Mama akan melewati rute Jakarta-Seoul-Sapporo. Mama harus transit sekian jam di Bandara International Incheon-Seoul. Tapi Mama menyakinkan kami bahwa bisa ’terbang sendiri’, berbekal pengalamannya terdahulu.
Ketika kali kedua aku, suami dan putri sulung kami menunggu di Bandara Chitose-Sapporo, hatiku seperti beberapa tahun lalu. Rasa takut sangat menguasai hati dan pikiranku. Bagaimana ya kali ini? Mama sukses tidak ya? Kalau terjadi apa-apa dengannya, apakah akan ada orang yang membantunya?
Mama sering bercerita kepada kami, untuk keberangkatannya yang kedua kali ini, dia bahkan kursus bahasa Inggris private! Mamaku dengan usianya yang sudah 56 tahun, tak pernah menyentuh bangku kuliah, tak punya ilmu dasar Bahasa Inggris, tetapi begitu bersemangat ’mengeluarkan uangnya sendiri’. Diam-diam mengambil les privat. Aku dan suami sampai takjub dengan semangatnya.
Lima belas menit berlalu dari jam kedatangan pesawat. Aku benar-benar tak tenang. Sangking khawatirnya aku memilih pergi ke kamar mandi, menenangkan jiwaku yang luar biasa gelisah. Aku berharap jika aku kembali ke tempat kami menunggu, maka Mama sudah ada. Tapi sekembalinya ke pintu keluar, tetap saja belum ada sosok Mama di situ. Padahal suamiku tak beranjak di tempat itu, biar ketika Mama keluar dia bisa langsung melihat kehadiran kami.
Badanku sudah tak bisa diatur lagi. Mondar sana, mondar sini. Suamiku mengerti kegelisahanku, karena aku pernah bercerita tenang kondisi Mama dulu. Suamiku hanya bisa menenangkan diriku.
”Keluarga Ibu Dahniar?” Seseorang menegur kami dalam Bahasa Jepang. Seorang wanita! Usianya sudah cukup tua, tapi sangat ‘fashionable’-khas orang Jepang. Suamiku mengangguk, tapi aku semakin tak karuan.
“Ada sesuatu dengan Ibu saya?”tanyaku tak sabar. Si sulung juga tak sabar ingin bertemu Neneknya, sejak tadi ditarik-tariknya ujung bajuku. Membuatku semakin gelisah.
”Iya. Dia tadi sebangku dengan saya. Sekarang sedang mengisi questionarre, keliatannya ada yang sulit dan tidak dimengertinya. Sehingga dibantu oleh petugas bandara.
”Kang, gimana nih? Duuuh, Mama kenapa ya?” Aku menempelkan badanku ke Suami, meminta ketenangan. Dia memegang jemari kananku erat-erat dan berbisik,”Sabar, semoga Mama tidak apa-apa.”
Setiap kali pintu otomatis itu terbuka dan tertutup, tubuhku selalu sudah setengahnya melongok ke dalam. Tapi yang ada hanya meja-meja petugas cek barang yang sulit tembus pandang.
Ketika kepasrahanku sudah diambang batas, tiba-tiba Mama keluar dengan wajah kuyu tapi dengan senyum yang melegakan hati kami.
”Eiiii…cucuku Alma. Udah dari tadi nunggu ya.” Mama langsung ’rame’ seperti biasa. Kusalami tangannya dengan perasaan masih dengan kegelisahan yang tersisa. Sambil berjalan melewati rute ke kereta bawah tanah, Mama terus bercerita mengapa dirinya sampai jadi ’penumpang terakhir lagi’ yang keluar dari imigrasi.
Ternyata, ini ada kaitannya dengan pengisian questionarre yang biasa dibagikan di dalam pesawat, sebelum mendarat. Dari sekian banyak pertanyaan, ada satu yang membingungkan Mama. Yakni, ”What is your occupation?”
“Terus, Mama bingungnya di mana?” tanya kami.
”Iya, Mama kan nggak tahu kalau occupation itu artinya pekerjaan. Yang mama tahu kan pekerjaan itu ’work’ atau ’job’. Makanya Mama bingung ampun-ampunan.”
”Oo gitu ya, Ma”.
Aku sungguh kagum dengan daya ingat Mama tentang kata ‘work’ dan ‘job’. Padahal beliau hanya
kursus kurang dari tiga bulan, itu pun ’belang betong’ kata Mama. Kasihan juga Mama, sampai harus memeras pikirannya untuk pertanyaan itu.
”Satu lagi ada pertanyaan tentang ’mariyuana’. Mama nggak ngerti apa itu? Mama taunya ekstasi. Ternyata jenis obat keras ya…hahaha.” Mama tertawa lepas.
Mungkin Mama segelisah aku. Terbang kedua kalinya ke Jepang pastilah bukan ’urusan gampang’ untuk seorang Nenek. Jangankan untuk Mamaku, untuk kaum muda saja pasti setiap perjalanan itu akan menemukan hal-hal baru. Seperti aku yang menemukan kebenaran bahwa kasih ibu itu memang sepanjang jalan.
********
Sebulan setelah kelahiran buah hati kami yang kedua, Mama mengirimi kami sebuah buku notes. Di dalamnya ada tersurat tulisan tangan Mama tentang ’long journey’-nya yang seru ketika pulang sendiri dari Sapporo ke Indonesia.
Tersurat bagaimana repotnya Mama dalam perjalanan pulang ke Indonesia. Mulai dari Bandara Chitose-Sapporo, lalu transit 7 jam di Bandara Incheon-Seoul. Kemudian keesokan harinya berangkat lagi ke Indonesia dengan jalur Denpasar Bali dan akhirnya kembali menginjakkan kakinya di Bandara Soekarno Hatta-Jakarta.
Apalah kekuatan tubuh seorang nenek yang bepergian seorang diri. Dengan beban oleh-oleh di tasnya yang over-weight. Tetapi semua itu dia bawa karena cinta kepada keluarga yang ditinggalkannya di Bandung.
Mama bercerita dalam suratnya, “Mama tak sanggup menahan air mata yang jatuh di dalam pesawat. Saat itu Mama takuuut sekali. Mama tak punya siapa-siapa dalam perjalanan. Satu-satunya penolong Mama adalah Allah swt. Selain itu Mama kangen lihat wajah cucu Mama, Alma dan si baby Tiara. Ingin rasanya Mama kembali aja ke lobby kedatangan, bergabung lagi dengan kalian di Sapporo. Tapi kalau ingat Papa kalian yang sakit-sakitan, Mama tak punya harapan.Harus tetap pulang!”
Ah, hati kami begitu trenyuh membaca suratnya.
Ya Allah, semoga ketika waktunya anak-anak kami membutuhkan kami, maka kami pun bisa seperti Mama. Kuat iman, kuat raga, dan pasrah kepadaMu.
I LOVE U MOM
BalasHapus